Blogger Widgets
"Selamat Datang di blog MI DARUL FALAH" Sirahan

Galery

Saturday 22 October 2016

Sejarah dan Tugas Santri


Sejarah dan Tugas Santri
“Santri” identik dengan seseorang yang tinggal di Pondok Pesantren yang kesehariannya mengkaji kitab salaf atau kitab kuning, dengan tubuh dibalut sarung, peci, serta pakaian ala santri menjadi pelengkap dan menambah ciri khas tersendiri bagi mereka.
Asal-usul kata “santri” sendiri menurut DR. Nurcholis Majid (Cendekiawan Islam) sekurang-kurangnya ada dua pendapat yang dapat di jadikan bahan acuan.Pertama, berasal dari bahasa Sankskerta, yaitu "sastri", yang berarti orang yangmelek huruf. Kedua, berasal dari bahasa Jawa, yaitu "cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.
Berbeda dengan pendapat DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU dan Ketua Umum Pusat MUI) yang justru mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata "santaro", yang mempunyai jama' (plural) sanaatiir(beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta', ra').
Adapun empat huruf tersebut yaitu :
Sin, yang bermakna dari lafadz "satrul aurah" (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sinini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling ta'aluq atau berhubungan. Yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (dhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini).
Menutup aurat secara dhahiri gambarannya sesuai dengan gambaran yang telah ada menurut syari'at Islam. Mulai dari pusar sampai lutut bagi pria dan seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah bagi wanita. Gambaran tersebut merupakan gambaran yang sudah tersurat dalam aturan-aturan yang sudah jelas dalam syari'at. Namun satu sisi yang kaitannya dengan makna yang tersirat (bathini) terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya tujuan dari perintah menutup aurat.
Manusia sebagai mahluk yang mulia yang diberikan nilai lebih oleh Allah berupa akal menjadikan posisi manusia sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan yang lain. Dengan akal tersebutlah akan terbentuk suatu custom atauhabitual yang tentu akan dibarengi dengan budi dan naluri, yang nantinya manusia akan mempunyai rasa malu jika dalam perjalanannya tidak sesuai dengan rel–rel yang telah di tentukan oleh agama dan habitual action atau hukum adab setempat.
Yang kaitannya dengan hal ini, tujuan utama manusia menutup aurat tak lain adalah menutupi kemaluan yang dianggap vital dan berharga. Andaikan manusia sudah tidak dapat lagi menutup kemaluannya yang vital dan berharga itu, berarti sudah dapat ditanyakan kemanusiaannya antara manusia dan makhluk yang lain semisal hewan.
Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini. Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi saw. : "al-haya'u minal iman", malu sebagian dari iman. Tentunya hal ini sudah jelas betapa besar pengaruhnyahaya' atau malu dalam kacamata religius (agama) maupun sosial kemasyarakatan.
Nun, yang bermakna dari lafadz "na'ibul ulama" (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : "al-ulama warasatul anbiya' (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari umat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan umat dalam segala dimensi. Tentunya di harapkan seorang ulama mempunyai kepekaan-kepekaan sosial yang tahu atas problematika dan perkembangan serta tuntutan zaman akibat arus globalisasi dan modernisasi, serta dapat menyelesaikannya dengan arif dan bijak atas apa yang terjadi dalam masyarakatnya.
Kaitannya dengan na'ibul ulama, seorang santri di tuntut mampu aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Minimal dalam masyarakat kecil yang ada dalam pesantren. Sebagaimana yang kita tahu, pesantren merupakan sub-kultur dari masyarakat yang majemuk. Dan dengan didukung potensi yang dimiliki kaum santri itulah yang berfungsi sebagai modal dasar untuk memberikan suatu perubahan yang positif sesuai dengan yang diharapkan Islam.
Ta', yang bermakna dari lafadz "tarkul ma'ashi" (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syari'at, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari'at.
Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma'ashi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga hubungan sosial dengan sesama makhluk, baik manusia ataupun yang lain.
Ra', yang maknanya dari lafadz "raisul ummah" (pemimpin umat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya "inni ja'ilun fil ardhi khalifah" (QS. Al-Baqarah : 30), yang artinya "Sesungguhnya Aku ciptakan di muka bumi ini seorang pemimpin."
Kemuliaan manusia itu ditandai dengan pemberian-Nya yang sangat mempunyai makna untuk menguasai dan mengatur apa saja di alam ini, khususnya umat manusia. Selain itu pula peranan khalifah mempunyai fungsi ganda. Pertama,ibadatullah (beribadah kepada Allah) baik secara individual maupun sosial, dimana sebagai makhluk sosial dalam komunitas berbangsa, umat Islam juga dituntut memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Kedua,'imaratul ardhi, yaitu membangun bumi dalam arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada. Jika hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia itu hukumnya wajib. Maka melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya wajib. Sebagaimana di jelaskan dalam salah satu kaidah fiqih; "ma la yatimu bi hi wajib fahuwa wajibun", sesuatu yang menjadikan kewajiban maka hukumnya pun wajib.
Gambaran di atas merupakan suatu peran serta tanggung jawab seorang santri, dalam hal pengembangan sosial masyarakat. Di situlah diperlukan suatu mentalitas religius serta totalitas kesadaran, karena kaum santri-lah yang dapat dijadikan harapan dalam mengembalikan konsep-konsep ajaran Islam. Sebab, secara tidak langsung santri adalah generasi penerus perjuangan para ulama sekaligus pewaris para Nabi dalam mensyi’arkan dan meneruskan ajaran-ajaran Islam, baik dengan dakwah bil lisan (dengan ucapan/ceramah), dakwah bil kitabah (dengan karya/tulisan) maupun dakwah bil hal (dengan akhlak/perilaku). Maka, sudah seharusnya para santri dapat merealisasikan ilmu-ilmu yang didapat dari pesantren yang pernah disinggahinya. 



Sejarah dan Fungsi Pesantren
Pesantren adalah sebuah pemondokan atau tempat tinggal bagi para santri. Dalam sejarah Nabi saw. sebenarnya sudah ada kumpulan santri atau pencari ilmu yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka berdatangan dari berbagai daerah dari dalam maupun luar Madinah. Sebagian besar dari para sahabat tersebut rela datang ke Madinah untuk mendengarkan dan mempelajari ajaran baru, yaitu ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara mereka ada yang sambil bekerja dan ada juga yang dijatah oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Sahabat Abu Hurairah ra. adalah satu dari sekian banyak sahabat Nabi saw. yang pernah nyantri di Masjid Nabawi dibawah bimbingan langsung Rasulullah saw.
Adapun tradisi pesantren di Indonesia menurut sebagian ahli sejarah Islam dimulai oleh Sunan Ampel. Sunan Ampel mendirikan pemondokan berupa kamar-kamar bagi para santri. Dan Sunan Giri adalah satu diantara sekian banyak santri yang pernah mondok di pesantren asuhan Sunan Ampel.
Seiring berkembangnya zaman dan merebaknya teknologi modern, keberadaan pesantren semakin ditinggalkan. Padahal dari pesantren-lah muncul generasi-generasi muda Islam sebagai calon-calon ulama dan penyebar syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Menurut saya, ada pergeseran pandangan masyarakat sekarang ini, mereka berpandangan bahwa mencari ilmu bisa didapat dari kitab-kitab terjemah ataupun lewat media internet. Pandangan mereka diperparah dengan ambisi dunia atau penguatan ekonomi dibanding mencari ilmu di Pesantren.
Hal inilah yang menjadikan generasi Islam masa depan menjadi semakin suram. Dan akibat dari pergeseran pandangan masyarakat tentang pesantren itulah yang menjadikan timbulnya bermacam-macam kasus di kalangan remaja dan pemuda. Maka, pandangan masyarakat yang mengatakan “Kalau anak saya mondok, nanti mau kerja apa” adalah salah besar dan perlu diluruskan. Karena, pesantren bukan tempat mendidik mencari kerja atau memudahkan mendapat pekerjaan. Pesantren adalah ladang atau tempat mendidik kemandirian dalam hidup dan tempat mencetak generasi Islam yang berilmu dan berakhlak mulia. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan kebahagian dunia hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat hendaklah dengan ilmu dan barangsiapa menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat hendaklah dengan ilmu”. Jadi, sudah jelas bahwa pesantren merupakan sarana dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Disusun Oleh Saifurroyya Dari Berbagai Sumber     
Sumber :
http://talimulquranalasror.blogspot.co.id/2014/02/sejarah-santri-dan-pesantren.html

Tentang Pesantren, Kemerdekaan dan Keindonesiaan


Oleh Agus Muhammad
Pesantren merupakan salah satu unsur penting dalam dinamika historis bangsa Indonesia.  Secara hirtoris, pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa penting bangsa Indonesia, baik sejarah sosial , budaya, ekonomi maupun politik bangsa Indonesia. 
<>
Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja menyelenggarakan pendidikan keislaman kepada para santri. Namun, dari masa ke masa, pesantren tidak hanya berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

Salah satu peran penting pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Bambu Runcing yang terkenal sebagai senjata para pejuang kemerdekaan adalah inisiatif dari Kiai Subeki atau Mbah Subki yang kemudian diabadikan sebagai nama pesantren, yakni Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren (Gunung Agung, 1984), mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman – yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.

Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan 

Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.

Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang  dipelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol;  pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh. 

Peristiwa 10 November

Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia.  Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit. 

Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan pertemuan diantara para pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.

Ada tiga poin penting dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).

Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah.

Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah 

Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan senjata-senjata berat mereka. 

Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005), seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah  mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.

Refleksi Keindonesiaan

Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah proklamasi, tetapi terus dilanjutkan di masa-masa kemudian.

Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan kelompok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak tersebut. Padahal DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena NKRI sudah dianggap final.

Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini. 

Pasca reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.



Agus Muhammad, pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama
Sumber :
http://www.nu.or.id/post/read/62948/pesantren-kemerdekaan-dan-keindonesiaan